Rabu, 29 September 2010

Pidato SBY dan Opini Publik

Pada Rabu (1/9) malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia.  Akankah suara-suara keras di tengah masyarakat akan melunak? Semoga demikian, namun belum tentu demikian adanya.
Menyimak pemberitaan media beberapa hari terakhir, amat sulit menghindari kesan bahwa di antara sebagian masyarakat ada juga war monger dengan slogan-slogan jingoism kosong semacam “Ganyang Malaysia.” Seolah-olah, urusan perang antarnegara semudah urusan perang antarkampung, atau tawuran antarsekolah, atau semudah menyerang kelompok-kelompok yang tidak sehaluan dengan kelompoknya, yang beritanya sering menghiasi media massa kita itu. Banalitas kekerasan domestik negeri kita sepertinya menemukan outlet baru, sekarang berkembang dalam bahasa-bahasa kekerasan untuk negara tetangga.
Walaupun penulis kecewa atas diamnya Presiden SBY pada kekerasan terhadap kelompok minoritas di tanah air, seperti kelompok Ahmadiyah, respons Presiden SBY terhadap isu hubungan Indonesia  dan Malaysia melalui pidatonya, menurut penulis, cukup proporsional.  Beberapa hal esensial dalam persoalan hubungan Indonesia dan Malaysia dijabarkan disertai pengakuan bahwa ada riak-riak dalam hubungan kita dengan negara jiran itu.
Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari mengerasnya opini publik belakangan ini terhadap isu hubungan Indonesia dan Malaysia ini.
Pelajaran pertama, diplomasi dan politik luar negeri kita pada akhirnya juga tidak bisa menghindar dari arus demokratisasi. Sebelumnya, isu diplomasi dan politik luar negeri seringkali dianggap domain milik negara, yang jarang tersentuh warga negara. Warga negara seolah memberi blanko kosong kepada negara untuk menjalankan hubungan luar negeri.  Sepanjang masa otoritarian Orde Baru, diplomasi dan politik luar negeri tidak sensitif terhadap opini publik. Suara-suara keras yang menuntut pemerintah bertindak “tegas”  terhadap Malaysia, sejatinya adalah hal lumrah dalam sebuah negeri yang demokratis.  
Menariknya, pemberitaan pers di Malaysia tidak seriuh rendah media di Indonesia. Sangat boleh jadi, sepinya media di Malaysia dan riuh rendahnya media di Indonesia menunjukan semakin demokratisnya Indonesia dan masih tertutupnya sistem politik di Malaysia.
Perlakuan sewenang-eenang pemerintah Malaysia terhadap warga Indonesia, semisal para TKI, dengan cepat tersiar kabarnya melalui media di Indonesia dan seketika membakar rasa patriotisme banyak orang. Di lain pihak, media di Malaysia biasanya adem ayem. 
Analogi yang sedikit mirip dengan situasi itu adalah ini: lima wartawan Australia terbunuh di Timor Timur tahun 1975. Ketika itu, media dan masyarakat Australia meradang, tapi media dan masyarakat Indonesia adem ayem, seolah tidak terjadi apa-apa.  Pemerintah Australia saat itu kewalahan meredam kerasnya opini publik dalam negeri, sementara pada saat bersamaaan berusaha keras menjaga hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Persamaannya dengan situasi kita sekarang dalam persoalan dengan Malaysia adalah bahwa media dan opini publik dalam alam demokrasi memang gaduh. Tetapi di situlah deliberasi beragam opini terjadi, demi membentuk publik yang (semestinya) lebih rasional.
Pelajaran kedua, pidato SBY itu menunjukkan proses berpolitik (luar negeri) yang rasional. Hans Morgenthau dalam risalah klasiknya, Politics among Nations, menuliskan bahwa praktik diplomasi dan politik luar negeri seringkali bertentangan dengan opini publik.
Berkenaan dengan itu, seperti diproposisikan Morgenthau, ada tiga hal yang selalu melatarbelakangi diplomasi dan politik luar negeri. Hal pertama adalah pertentangan antara opsi-opsi bagi diplomasi dan politik luar negeri yang baik bisa jadi bertentangan dengan opini publik. Toh, pemerintah bisa memberi “konsesi” untuk mengurangi oposisi terhadap kebijakan luar negeri. Pidato SBY yang menjabarkan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikan insiden di seputar perairan Bintan pada 13 Agustus 2010 lalu, menurut penulis, adalah bentuk “konsesi” yang dimaksud.
Hal kedua, pemerintah sebagai pelaksana hubungan luar negeri harus menyadari bahwa ia adalah “leader”, bukan “slave” dari opini publik.  Opini publik tidak membentuk kebijakan. Sebaliknya, menurut Morgenthau,  opini publik akan dibentuk oleh kepemimpinan yang baik dan bertanggung jawab.
Hal ketiga, pemerintah selaku pelaksana diplomasi dan politik luar negeri harus mampu membedakan hal yang desirable dalam politik luar negeri dengan hal yang esensial. Tentu yang harus didahulukan adalah hal yang esensial. Politics Among Nations mengingatkan, pemerintah pelaksana diplomasi dan politik luar negeri bisa saja mengikuti opini publik untuk hal yang non-esensial. Namun ia harus berani beradu argumentasi dengan publik untuk hal yang esensial. Pidato SBY telah melakukan itu dengan menjabarkan elemen esensial dalam hubungan Indonesia dan Malaysia yang harus terus dijaga demi kemaslahatan negeri kita sendiri.
Ringkasnya, Pidato SBY tersebut, menurut penulis, cukup tegas dan proporsional dalam merespons opini publik dalam isu hubungan Indonesia dan Malaysia. Apakah Presiden SBY bisa menunjukkan ketegasan yang sama pada agenda politik domestik  lain yang esensial, utamanya soal perlindungan terhadap kelompok minoritas dan komitmen terhadap negara Indonesia yang plural? Banyak orang meragukannya, termasuk penulis kolom ini.

Tidak ada komentar: